Kamis, 18 Oktober 2018

Sejarah Islam Nusantara Di Indonesia




Sejarah nya sejarah....
Saripati sejarah masuknya islam di Nusantara.

Ternyata, jaman dulu ada orang Belanda yang sudah menceritakan santri NU, namanya Christia Snouck Hurgronje. Dia ini hafal Alquran, Sahih Bukhori, Sahih Muslim, Alfiyyah Ibnu Malik, Fathul Mu’in, dsb. Tapi tidak islam, sebab tugasnya adalah menghancurkan Islam Indonesia.

Mengapa?
Karena Islam Indonesia selalu melawan Belanda.
Sultan Hasanuddin, santri.
Pangeran Diponegoro atau Mbah Abdul Hamid, santri.

Sultan Agung, santri.
Mbah Zaenal Mustofa, santri.
Semua santri kok melawan Belanda...?

Akhirnya ada orang belajar secara khusus tentang Islam, untuk mencari rahasia bagaimana caranya Islam Indonesia ini bisa diremuk / dihancurkan. Akhirnya Snouck Hurgronje masuk ke Indonesia dengan menyamar dengan nama *Syekh Abdul Ghaffar*.

Dia belajar segala hal ihwal tentang Islam; menghafalkan Alquran dan Hadist di Arab sana. Hingga akhirnya dia paham betul tentang Islam.
Hanya saja begitu nyampai di Indonesia, Snouck Hurgronje bingung: mencari Islam dengan wajah Islam seperti yang dia pelajari selama ini di tanah Arab, tidak ketemu disini.

Ternyata Islam yang dibayangkan dan dipelajari Snouck Hurgronje selama ini, itu tidak ada.
Mencari Allah disini tidak ketemu, ketemunya Pangeran. Ketemunya Gusti. Padahal ada pangeran namanya Pangeran Diponegoro. Ada Gusti namanya Gusti Kanjeng.

Mencari istilah shalat tidak ketemu, ketemunya sembahyang.
Mencari syaikhun, ustadzun, tidak ketemu; ketemunya Kiai. Padahal ada juga seekor kerbau yang dikasih nama Kiai slamet.
Mencari mushalla tidak ketemu, ketemunya Langgar.

Maka, ketika Snouck Hurgronje bingung, dia dibantu Van Der Plast, yang menyamar dengan nama *Syekh Abdurrahman*.
Mereka memulai dengan belajar bahasa Jawa. Karena ketika masuk Indonesia, mereka sudah bisa bahasa Indonesia, bahasa Melayu, tapi tidak bisa bahasa Jawa.

Begitu belajar bahasa Jawa, mereka bingung, stress...

Begini ceritanya: Orang disini makanannya nasi (jawa: sego).
Snouck Hurgronje dan Van Der Plas tahunya beras itu, bahasa inggrisnya *Rice*, dan bahasa arabnya *Ar-ruz*.
Yang disebut Ar-ruz, ketika masih di sawah; namanya pari / padi. Disana masih ruz, rice. Begitu padi dipanen, namanya ulen-ulen, ulenan. Disana masih ruz, rice.

Jadi ilmunya sudah mulai kucluk, korsletting, salah sambung.

Begitu ditutu / ditumbuk /digiling; mereka masih dalam pemahaman ruz, rice. Padahal sampai disini sudah dinamai gabah.
Begitu dibuka; disini namanya beras, disana masih ruz, rice.
Begitu berasnya tak utuh / cuil; disini namanya menir, disana masih ruz, rice.
Begitu dimasak; disini sudah dinamai sego / nasi, disana masih ruz, rice.
Begitu ada yang jatuh sebiji dan dimakan cicak; disini namanya upo, disana namanya masih ruz, rice.
Begitu dibungkus daun pisang; disini namanya lontong, sana masih ruz, rice.
Begitu dibungkus janur kuning; namanya ketupat, sana masih ruz, rice.
Ketika diaduk dan hancur, lembut, disini namanya bubur, sana namanya masih ruz, rice.

Inilah bangsa aneh, yang membuat Snouck Hurgronje judeg, pusing.
Mempelajari Islam Indonesia tidak paham, akhirnya mencirikan Islam Indonesia dengan tiga hal.

Pertama, kethune miring sarunge nglinting (berkopiah miring dan bersarung ngelinting).

Kedua, mambu rokok (bau rokok).

Ketiga, tangane gudigen (tangannya berpenyakit kulit).

Cuma tiga hal itu catatan (pencirian Islam Indonesia) Snouck Hurgronje di Perpustakaan Leiden, Belanda. Tidak pernah ada cerita apa-apa, yang lain sudah biasa.

Maka, jangankan Snouck Hurgronje, orang Indonesia saja kadang tidak paham dengan Islam Indonesia, karena kelamaan di tanah Arab.

Melihat tetangga melantunkan *pujian* (nyanyian khusus setelah adzan dan sebelum iqomat), karena tidak paham, bilang *bid’ah*.

Melihat tetangga menyembelih ayam untuk tumpengan, dibilang bid’ah. Padahal itu produk Islam Indonesia. Kelamaan diluar Indonesia, jadi tidak paham.

Masuk kesini sudah kemlinthi / sok-sokan, memanggil nama Nabi Muhammad dengan sebutan *“Muhammad”* saja.
Padahal, disini, tukang bakso saja dipanggil “Mas”.
Padahal orang Jawa nyebutnya *Kanjeng Nabi Muhammad*.

Lha, akhir-akhir ini semakin banyak yang tidak paham Islam Indonesia.

Kenapa? Karena Islam Indonesia keluar dari rumus-rumus Islam dunia, Islam pada umumnya.
Kenapa? Karena Islam Indonesia ini saripati (essensi) Islam yang paling baik yang ada di dunia.
Kenapa? Karena Islam tumbuhnya tidak disini, tetapi di Arab. Rasulullah orang Arab. Bahasanya bahasa Arab. Yang dimakan juga makanan Arab. Budayanya budaya Arab.

Kemudian Islam datang kesini, ke Indonesia.

Kalau Islam masuk ke *Afrika* itu mudah, tidak sulit. Karena waktu itu peradaban mereka masih belum maju, belum terdidik. Orang belum terdidik itu mudah dijajah. Seperti pilkada, misalnya, diberi uang Rp20.000 atau mie instan sebungkus, beres.

Berbeda kalau mengajak orang berpendidikan; sulit, dikasih uang Rp 10 juta belum tentu mau.
Islam waktu datang ke Eropa, kondisi saat itu disana juga dalam keadaan terpuruk, carut-marut.
Tetapi Islam datang kesini, mikir-mikir dulu, karena bangsa di Nusantara ini sedang kuat-kuatnya. Bangsa anda sekalian ini bukan bangsa kecoak.

Ini karena ketika itu sedang ada dalam kekuasaan negara terkuat yang menguasai 2/3 dunia, namanya kerajaan Majapahit.
Majapahit ini bukan negara sembarangan.
Universitas terbesar di dunia ada di Majapahit, namanya Nalanda.

Hukum politik terbaik dunia yang menjadi rujukan, adanya di Indonesia, waktu itu ada di Jawa, kitabnya bernama *Negarakertagama*.

Hukum sosial terbaik ada di Jawa, namanya *Sutasoma*.

Bangsa ini tidak bisa ditipu, karena orangnya pintar-pintar dan kaya-raya.

Cerita surga di Jawa itu tidak laku. Surga itu (dalam penggambaran Alquran): *tajri min tahtihal anhaar* (airnya mengalir), seperti sungai. Kata orang disini: “mencari air kok sampai surga segala? Disini itu, sawah semua airnya mengalir.”

Artinya, pasti bukan itu yang diceritakan para ulama penyebar Islam.

Cerita surga tentang buahnya banyak juga tidak, karena disini juga ada banyak buah2an.

Artinya dakwah disini, di tanah Jawa; tidak mudah.

Diceritain pangeran, orang Jawa sudah punya Sanghyang Widhi.

Diceritain Ka’bah orang jawa juga sudah punya stupa: sama-sama batunya dan tengahnya sama berlubangnya.

Dijelaskan menggunakan tugu Jabal Rahmah, orang Jawa punya Lingga Yoni.

Dijelaskan memakai hari raya kurban, orang Jawa punya peringatan hari raya Kedri. Sudah lengkap.

Islam datang membawa harta-benda, orang Jawa juga tidak doyan.

Kenapa? Orang Jawa pada waktu itu mayoritas beragama Hindu.

Hindu itu berprinsip yang boleh bicara agama adalah orang *Brahmana*, kasta yang sudah tidak membicarakan dunia.

Dibawah Brahmana ada kasta *Ksatria*, seperti kalau sekarang Gubernur atau Bupati. Ini juga tidak boleh bicara agama, karena masih ngurusin dunia.

Dibawah Ksatria ada kasta namanya *Wesya* (Waisya), kastanya pegawai negeri. Kasta ini tidak boleh bicara agama.

Di bawah itu ada petani, pedagang dan saudagar, ini kastanya *Sudra*. Kasta ini juga tidak boleh bicara agama. Jadi kalau ada cerita Islam dibawa oleh para saudagar, tidak bisa dterima akal. Secara teori ilmu pengetahuan ditolak, karena saudagar itu Sudra dan Sudra tidak boleh bicara soal agama.

Yang cerita Islam dibawa saudagar ini karena saking judeg-nya, bingungnya memahami Islam di Indonesia. Dibawahnya ada kasta *Paria*, yang hidup dengan meminta-minta, mengemis.

Dibawah Paria ada golongan pencopet, namanya kasta *Tucca*.

Dibawah Tucca ada golongan maling, pencuri, namanya kasta *Mlecca*.

Dibawahnya lagi ada golongan begal, perampok, namanya kasta *Candala*.

*Anak-anak muda NU harus tahu. Itu semua nantinya terkait dengan Nahdlatul Ulama*.

Akhirnya para ulama kepingin, ada tempat begitu bagusnya, mencoba diislamkan. Ulama-ulama dikirim ke sini.

Namun mereka menghadapi masalah, karena orang-orang disini doyan memakan manusia (kanibalisme). Namanya aliran *Bhirawa*. Munculnya dari Syiwa. Mengapa ganti Syiwa? karena Hindu Brahma bermasalah.

*Hindu Brahma*, orang Jawa bisa melakukan, tetapi matinya sulit. Sebab orang Brahma, matinya harus *moksa* atau *murco* (menghilang).

Untuk bisa moksa (menghilang), harus melakukan ritual *upawasa*.

Upawasa itu tidak makan, tidak minum, tidak ngumpulin istri, kemudian badannya menyusut menjadi kecil dan selanjutnya menghilang (moksa).

Kadang ada yang sudah menyusut menjadi kecil, tidak bisa hilang, gagal moksa, karena teringat kambingnya, hartanya. Lha ini terus menjadi *jenglot* atau *batara karang*.

Jika anda menemukan jenglot ini, jangan dijual mahal karena itu produk gagal moksa.

Pada akhirnya, ada yang mencari ilmu yang lebih mudah, namanya ilmu *ngrogoh sukmo* .

Supaya bisa mendapat ilmu ini, mencari ajar dari *Kali*. Kali itu dari *Durga*. Durga itu dari *Syiwa*, mengajarkan *Pancamakara*.

Supaya bisa ngrogoh sukmo, semua nafsu syahwat badaniah dikenyangi / dipuaskan. Kaum laki-laki bercampur perempuan duduk melingkar telanjang, menghadap hidangan arak (minuman keras) dan ingkung / hidangan daging manusia...

Supaya syahwat bawah perut tenang; dikenyangi / dipuaskan dengan seks bebas. Sisa-sisa tradisi itu sekarang ada di Gunung Kemukus, Sragen.

Supaya perut tenang; makan hidangan tumpeng.

Supaya pikiran tenang, tidak banyak pikiran; minum arak.

Agar ketika sukma keluar dari badan, badan tidak bergerak; makan daging manusia. Maka jangan heran kalau muncul orang-orang macam Sumanto.

Ketika sudah pada bisa ilmu *ngrogoh sukmo*, ketika sukmanya pergi, diajak mencuri namanya *ngepet*.

Ketika sukmanya pergi diajak membunuh manusia, namanya *santet*.

Ketika sukmanya pergi diajak mencintai / menggoda wanita, namanya *pelet*.

Maka kemudian di Jawa tumbuh ilmu santet, pelet dan ngepet.

Ada 1.500 orang ulama yang dipimpin *Sayyid Aliyudin* habis di-ingkung / dijadikan hidangan makanan, oleh orang Jawa pengamal *Ngrogoh Sukma*.

Untuk menghindari pembunuhan lagi, maka *Khalifah Turki Utsmani* mengirim kembali tentara ulama dari *Iran*, yang tidak bisa dimakan orang Jawa.

Nama ulama itu *Sayyid Syamsuddin Albaqir Alfarsi*. Karena lidah orang Jawa sulit menyebutnya, kemudian di Jawa terkenal dengan sebutan *Syekh Subakir*. Jadi Jawa ini diduduki bala tentara Syekh Subakir, dan orang2 pengamal ngrogoh sukmo kemudian mereka usir.

Ada yang lari ke Pantai Selatan, Karang Bolong, Srandil Cicalap, Pelabuhan Ratu dan Banten.

Di namai *Banten*, di ambil dari bahasa Sansekerta, artinya *Tumbal*.

Yang lari ke timur, naik Gunung Lawu, Gunung Kawi, Alas Purwo Banyuwangi (Blambangan). Disana mereka dipimpin oleh *Menak Sembuyu* dan *Bajul Sengoro*.

Karena Syekh Subakir sudah sepuh, maka pasukannya dilanjutkan kedua muridnya, namanya Mbah Ishak *(Maulana Ishak)* dan Mbah Brahim *(Ibrahim Asmoroqondi)*. Mereka melanjutkan pengejaran.

Menak Sembuyu menyerah, anak perempuannya bernama *Dewi Sekardadu* dinikahi Mbah Ishak, melahirkan *Raden Ainul Yaqin / Sunan Giri* yang dimakamkan di Gresik.

Sebagian lari ke Bali, sebagian lari ke Kediri, menyembah Patung Totok Kerot, diuber Sunan Bonang, akhirnya menyerah. Setelah menyerah, ritual duduk melingkarnya tetap dibiarkan, tetapi jangan telanjang lagi, arak / minuman kerasnya diganti air biasa, ingkung daging manusia diganti ayam, mantra ngrogoh sukmo diganti kalimat tauhid; *Laa ilaaha illallah*. Dari sinilah, Maka kita punya adat tumpengan sampai sekarang.

Kalau ada orang banyak komentar mem-bid’ah-kan,ceritakanlah ini. Kalau ngeyel, didatangi: tabok mulutnya. *Ini perlu diruntutkan, karena NU termasuk yang masih mengurusi beginian*.

Habis itu dikirim ulama yang khusus mengajar ngaji, namanya *Sayyid Jamaluddin al-Husaini al-Kabir*. Mendarat di Semarang dan menetap di daerah Merapi. Orang Jawa sulit mengucapkan, maka menyebutnya *Syekh Jumadil Kubro*.

Disana dia punya murid namanya *Syamsuddin*, pindah ke Jawa Barat, membuat pesantren puro di daerah Karawang. Punya murid bernama *Datuk Kahfi*, pindah ke Amparan Jati, Cirebon. Punya murid *Syarif Hidayatullah / Sunan Gunung Jati*. Inilah yang bertugas mengislamkan Padjajaran. Maka kemudian ada *Rara Santang*, *Kian Santang* dan *Walangsungsang*.

Nah, Syekh Jumadil Kubro punya putra punya anak bernama *Maulana Ishak* dan *Ibrahim Asmoroqondi*, bapaknya *Walisongo*.

Mbah Ishak melahirkan *Sunan Giri*.

Mbah Ibrahim punya anak *Sunan Ampel*. Inilah yang bertugas mengislamkan Majapahit.

Mengislamkan Majapahit itu tidak mudah. Majapahit orangnya pinter-pinter. Majapahit Hindu, sedangkan Sunan Ampel Islam. Ibarat sawah ditanami padi, kok malah ditanami pisang. Kalau anda begitu, pohon pisang anda bisa ditebang.

Sunan Ampel berpikir bagaimana caranya?

Akhirnya beliau mendapat petunjuk ayat Alquran. Dalam surat Al-Fath, 48:29 disebutkan : *".... masaluhum fit tawrat wa masaluhum fil injil ka zar’in ahraja sat’ahu fa azarahu fastagladza fastawa ‘ala sukıhi yu’jibuz zurraa, li yagidza bihimul kuffar………”*

Artinya: “...Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin)……………”

*Islam itu seperti tanaman yang memiliki anak-anaknya*, kemudian hamil, kemudian berbuah, ibu dan anaknya bersama memenuhi pasar, menakuti orang kafir. Tanaman apa yang keluar anaknya dulu baru kemudian ibunya hamil? Jawabannya adalah *padi*.

Maka kemudian Sunan Ampel dalam menanam Islam seperti menanam padi. Kalau menanam padi tidak di atas tanah, tetapi dibawah tanah, kalau diatas tanah nanti dipatok ayam, dimakan tikus.

Mau menanam *Allah*, disini sudah ada istilah *pangeran*.

Mau menanam *shalat*, disini sudah ada istilah *sembahyang*.

Mau menanam syaikhun, ustadzun, disini sudah ada kiai.

Menanam tilmidzun, muridun, disini sudah ada *shastri*, kemudian dinamani *santri*.

Inilah ulama dulu, menanamnya tidak kelihatan.

Menanamnya pelan-pelan, sedikit demi sedikit: *kalimat syahadat*, jadi *kalimasada*.

*Syahadatain*, jadi *sekaten*.

*Mushalla*, jadi *langgar*.

Sampai itu jadi bahasa masyarakat umumnya... Yang paling sulit mememberi pengertian orang Jawa tentang mati.

Kalau Hindu khan ada *reinkarnasi*. Kalau dalam Islam, mati ya mati (tidak kembali ke dunia).

Ini paling sulit, butuh strategi kebudayaan. Ini pekerjaan paling revolusioner waktu itu. Tidak main-main, karena ini prinsip. Prinsip *inna lillahi wa inna ilaihi rajiun* berhadapan dengan *reinkarnasi*.

Bagaimana caranya?

Oleh Sunan Ampel, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun kemudian di-Jawa-kan: *Ojo Lali Sangkan Paraning Dumadi*.

Setelah lama diamati oleh Sunan Ampel, ternyata orang Jawa suka tembang, nembang, nyanyi. Beliau kemudian mengambil pilihan: mengajarkan hal yang sulit itu dengan tembang. Orang Jawa memang begitu, mudah hafal dengan tembang.

Orang Jawa, kehilangan istri saja tidak lapor polisi, tapi nyanyi: ndang baliyo, Sri, ndang baliyo. .. Dst.

Lihat lintang / bintang nyanyi: yen ing tawang ono.. lintang, cah ayu... Dst

Lihat bebek, nyanyi: bebek adus kali nyucuki sabun wangi.... Dst.

Lihat enthok: menthok, menthok, tak kandhani, mung rupamu... Dst.

Orang Jawa suka nyanyi, itulah yang jadi pelajaran. Bahkan, lihat silit (pantat) saja nyanyi: … ndemok silit, gudighen.

Maka akhirnya, sesuatu yang paling sulit, berat, itu ditembangkan. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun diwujudkan dalam bentuk tembang bernama *Macapat*.

Apa artinya Macapat? *Bahwa orang hidup harus bisa membaca perkara Empat*.

Keempat perkara itu adalah teman nyawa yang berada dalam raga ketika turun di dunia. Nyawa itu produk akhirat. Kalau raga produk dunia. Produk dunia makanannya dunia, seperti makan. Apa-apa yang dimakan, sampah padatnya keluar lewat pintu belakang, yang cair keluar lewat pintu depan.

Ada sari makanan yang disimpan, namanya mani (sperma). Kalau mani ini penuh, bapak akan mencari ibu, ibu mencari bapak, kemudian dicampur dan dititipkan di rahim ibu.

Tiga bulan jadi segumpal darah, empat bulan jadi segumpal daging. Inilah produk dunia.

Begitu jadi segumpal daging, nyawa dipanggil.

“Dul, turun ya,”.

“Iya, Ya Allah”.

“Alastu birabbikum?” (apakah kamu lupa kalau aku Tuhanmu?).

“Qalu balaa sahidnya,” (Iya Ya Allah, saya jadi saksi-Mu), jawab sang nyawa.

”fanfuhur ruuh” (maka ditiupkanlah ruh itu ke daging). Maka daging itu menjadi hidup. Kalau tidak ditiup nyawa, tidak hidup daging ini. (lihat, a.l.: Q.S. Al-A’raf, 7:172, As-Sajdah: 7 -10, Al-Mu’min: 67, ed.)

Kemudian, setelah sembilan bulan, ruh itu keluar dengan bungkusnya, yaitu jasad.

Adapun jasadnya sesuai dengan orang tuanya: kalau orang tuanya pesek anaknya ya pesek; orang tuanya hidungnya mancung anaknya ya mancung; orang tuanya hitam anaknya ya hitam; kalau orang tuanya ganteng dan cantik, lahirnya ya cantik dan ganteng.

Itu disebut *Tembang Mocopat*: orang hidup harus membaca perkara empat.

Keempat itu adalah teman nyawa yang menyertai manusia ke dunia, ada di dalam jasad.

Nyawa itu ditemani empat: dua adalah Iblis yang bertugas menyesatkan, dan dua malaikat yang bertugas nggandoli, menahan. Jin *qarin* dan *hafadzah*.

Itu oleh *Sunan Ampel* disebut *Dulur Papat Limo Pancer*.

Ini metode mengajar. Maka *pancer* ini kalau mau butuh apa-apa bisa memapakai dulur tengen (teman kanan) atau dulur kiwo (teman kiri).

Kalau pancer kok ingin istri cantik, yang dipakai jalan kanan, yang di baca *Ya Rahmanu Ya Rahimu* tujuh hari di masjid, yang wanita nantinya juga akan cinta.

Tidak mau dulur tengen / kanan, ya memakai yang kiri, yang dibaca *aji-aji Jaran Goyang*, ya si wanita jadinya cinta, sama saja.

Kepingin perkasa, kalau memakai kanan yang dipakai kalimah *La haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim* .

Tak mau yang kanan ya memakai yang kiri, yang dibaca *aji-aji Bondowoso*, kemudian bisa perkasa.

Mau kaya kalau memakai jalan kanan ya *shalat dhuha* dan membaca *Ya Fattaahu Ya Razzaaqu*, kaya.

Kalau tidak mau jalan kanan ya jalan kiri, membawa kambing kendhit naik ke gunung kawi, nanti pulang kaya.

Maka, kiai dengan dukun itu sama; sama hebatnya kalau tirakatnya kuat.

Kiai yang ‘alim dengan dukun yang tak pernah mandi, jika sama tirakatnya, ya sama saktinya: sama-sama bisa mencari barang hilang. Sama terangnya. Bedanya: satu terangnya lampu dan satunya terang rumah terbakar.

Satu mencari ayam dengan lampu senter, ayamnya ketemu dan senternya utuh; sedangkan yang satu mencari dengan blarak (daun kelapa kering yang dibakar), ayamnya ketemu, hanya blarak-nya habis terbakar. *Itu bedanya nur dengan nar*.




Maka manusia ini jalannya, dijalankan seperti tembang yang awalan, *Maskumambang*: kemambange nyowo medun ngalam ndunyo, sabut ngapati, mitoni, ini rohaninya, jasmaninya ketika dipasrahkan bidan untuk imunisasi.

Maka menurut NU ada ngapati, mitoni, karena itu turunnya nyawa.

Setelah Maskumambang, manusia mengalami tembang *Mijil*.

Bakal Mijil: lahir laki-laki dan perempuan.

Kalau lahir laki-laki aqiqahnya kambing dua, kalau lahir perempuan aqiqahnya kambing satu.

Setelah Mijil, tembangnya *Kinanti*.

Anak-anak kecil itu, bekalilah dengan agama, dengan akhlak. Tidak mau ngaji, pukul. Masukkan ke TPQ, ke Raudlatul Athfal (RA). Waktunya ngaji kok tidak mau ngaji, malah main layangan, potong saja benangnya. Waktu ngaji kok malah mancing, potong saja kailnya.

Anak Kinanti ini waktunya sekolah dan ngaji. Dibekali dengan agama, akhlak.

Kalau tidak, nanti keburu masuk tembang *Sinom*: bakal menjadi anak muda (cah enom), sudah mulai ndablek, bandel.

Apalagi, setelah Sinom, tembangnya *Asmorodono*, mulai jatuh cinta. Tai kucing serasa coklat. Tidak bisa di nasehati.

Setelah itu manusia disusul tembang *Gambuh*, laki-laki dan perempuan bakal membangun rumah tangga, rabi, menikah.

Setelah Gambuh, adalah tembang *Dhandanggula*.Merasakan manis dan pahitnya kehidupan.

Setelah Dhandanggula, menurut Mbah Sunan Ampel, manusia mengalami tembang *Dhurma*.

Dhurma itu: darma bakti hidupmu itu apa?

Kalau pohon mangga setelah berbuah bisa untuk makanan codot, kalau pisang berbuah bisa untuk makanan burung...

Lha buah-mu itu apa? Tenagamu mana? Hartamu mana? Ilmumu mana yang didarmabaktikan untuk orang lain?

*Khairunnas anfa’uhum linnas*, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia lainnya.

Sebab, kalau sudah di Dhurma tapi tidak darma bakti, kesusul tembang *Pangkur*.

Anak manusia yang sudah memunggungi dunia: gigi sudah copot, kaki sudah linu. Ini harus sudah masuk masjid. Kalau tidak segera masuk masjid kesusul tembang *Megatruh*: megat, memutus raga beserta ruh / sukmanya. Mati.

Terakhir sekali, tembangnya *Pucung*.

Lha ini, kalau Hindu reinkarnasi, kalau Islam Pucung . Manusia di pocong. Sluku-sluku Bathok, dimasukkan pintu kecil. Makanya orang tua (dalam Jawa) dinamai buyut, maksudnya : siap-siap mlebu lawang ciut (siap-siap masuk pintu kecil).

Adakah yang mengajar sebaik itu di dunia?

Kalau sudah masuk pintu kecil, ditanya Malaikat Munkar dan Nankir. Akhirnya itu, yang satu reinkarnasi, yang satu buyut . Ditanya: “Man rabbuka?” , dijawab: “Awwloh,”. Ingin disaduk Malaikat Mungkar – Nakir apa karena tidak bisa mengucapkan Allah.

Ketika ingin disaduk, Malaikat Rakib buru-buru menghentikan: “Jangan disiksa, ini lidah Jawa”. Tidak punya alif, ba, ta, punyanya ha, na, ca, ra, ka . “Apa sudah mau ngaji?”kata Mungkar – Nakir. “Sudah, ini ada catatanya, NU juga ikut, namun belum bisa sudah meninggal”. “Ya sudah, meninggalnya orang yang sedang belajar, mengaji, meninggal yang dimaafkan oleh Allah.”

Maka, seperti itu belajar. Kalau tidak mau belajar, ditanya, “Man rabbuka?” , menjawab, “Ha……..???”. langsung dipukul kepalanya: ”Plaakkk!!”. Di- canggah lehernya oleh malaikat. Kemudian jadi wareng , takut melihat akhirat, masukkan ke neraka, di- udek oleh malaikat, di-gantung seperti siwur, iwir-iwir, dipukuli modal-madil seperti tarangan bodhol , ajur mumur seperti gedhebok bosok.

Maka, pangkat manusia, menurut Sunan Ampel: anak – bapak – simbah – mbah buyut – canggah – wareng – udek-udek – gantung siwur – tarangan bodol – gedhebok bosok. Lho, dipikir ini ajaran Hindu. Kalau seperti ini ada yang bilang ajaran Hindu, kesini, saya tabok mulutnya!

Begitu tembang ini jadi, kata Mbah Bonang, masa nyanyian tidak ada musiknya. Maka dibuatkanlah gamelan, yang bunyinya Slendro Pelok : nang ning nang nong, nang ning nang nong, ndang ndang, ndang ndang, gung . Nang ning nang nong: yo nang kene yo nang kono (ya disini ya disana); ya disini ngaji, ya disana mencuri kayu.

Lho, lha ini orang-orang kok. Ya seperti disini ini: kelihatannya disini shalawatan, nanti pulang lihat pantat ya bilang: wow!. Sudah hafal saya, melihat usia-usia kalian. Ini kan kamu pas pakai baju putih. Kalau pas ganti, pakainya paling ya kaos Slank.

Nah, nang ning nang nong, hidup itu ya disini ya disana. Kalau pingin akhiran baik, naik ke ndang ndang, ndang ndang, gung. Ndang balik ke Sanghyang Agung. Fafirru illallaah , kembalilah kepada Allah. Pelan-pelan. Orang sini kadang tidak paham kalau itu buatan Sunan Bonang.

Maka, kemudian, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, dibuatkan tumpeng agar bisa makan. Begitu makan kotor semua, dibasuh dengan tiga air bunga: mawar, kenanga dan kanthil.

Maksudnya: uripmu mawarno-warno, keno ngono keno ngene, ning atimu kudhu kanthil nang Gusti Allah (Hidupmu berwarna-warni, boleh seperti ini seperti itu, tetapi hatimu harus tertaut kepada Allah). Lho , ini piwulang-piwulangnya, belum diajarkan apa-apa. Oleh Sunan Kalijaga, yang belum bisa mengaji, diajari Kidung Rumekso Ing Wengi. Oleh Syekh Siti Jenar, yang belum sembahyang, diajari syahadat saja.

Ketika tanaman ini sudah ditanam, Sunan Ampel kemudian ingin tahu: tanamanku itu sudah tumbuh apa belum? Maka di-cek dengan tembang Lir Ilir, tandurku iki wis sumilir durung? Nek wis sumilir, wis ijo royo-royo, ayo menek blimbing. Blimbing itu ayo shalat. Blimbing itu sanopo lambang shalat.

Disini itu, apa-apa dengan lambang, dengan simbol: kolo-kolo teko , janur gunung. Udan grimis panas-panas , caping gunung. Blimbing itu bergigir lima. Maka, cah angon, ayo menek blimbing . Tidak cah angon ayo memanjat mangga.

Akhirnya ini praktek, shalat. Tapi prakteknya beda. Begitu di ajak shalat, kita beda. Disana, shalat 'imaadudin, lha shalat disini, tanamannya mleyor-mleyor, berayun-ayun.

Disana dipanggil jam setengah duabelas kumpul. Kalau disini dipanggil jam segitu masih disawah, di kebun, angon bebek, masih nyuri kayu. Maka manggilnya pukul setengah dua. Adzanlah muadzin, orang yang adzan. Setelah ditunggu, tunggu, kok tidak datang-datang.

Padahal tugas Imam adalah menunggu makmum. Ditunggu dengan memakai pujian. Rabbana ya rabbaana, rabbana dholamna angfusana , – sambil tolah-toleh, mana ini makmumnya – wainlam taghfirlana, wa tarhamna lanakunanna minal khasirin.

Datang satu, dua, tapi malah merokok di depan masjid. Tidak masuk. Maka oleh Mbah Ampel: Tombo Ati, iku ono limang perkoro….. . Sampai pegal, ya mengobati hati sendiri saja. Sampai sudah lima kali kok tidak datang-datang, maka kemudian ada pujian yang agak galak: di urugi anjang-anjang……. , langsung deh, para ma'mum buruan masuk. Itu tumbuhnya dari situ.

Kemudian, setelah itu shalat. Shalatnya juga tidak sama. Shalat disana, dipanah kakinya tidak terasa, disini beda. Begitu Allahu Akbar , matanya bocor: itu mukenanya berlubang, kupingnya bocor, ting-ting-ting, ada penjual bakso. Hatinya bocor: protes imamnya membaca surat kepanjangan. Nah, ini ditambal oleh para wali, setelah shalat diajak dzikir, laailaahaillallah.

Hari ini, ada yang protes: dzikir kok kepalanya gedek-gedek, geleng-geleng? Padahal kalau sahabat kalau dzikir diam saja. Lho, sahabat kan muridnya nabi. Diam saja hatinya sudah ke Allah. Lha orang sini, di ajak dzikir diam saja, ya malah tidur. Bacaannya dilantunkan dengan keras, agar ma'mum tahu apa yang sedang dibaca imam.

Kemudian, dikenalkanlah nabi. Orang sini tidak kenal nabi, karena nabi ada jauh disana. Kenalnya Gatot Kaca. Maka pelan-pelan dikenalkan nabi. Orang Jawa yang tak bisa bahasa Arab, dikenalkan dengan syair: kanjeng Nabi Muhammad, lahir ono ing Mekkah, dinone senen, rolas mulud tahun gajah.

Inilah cara ulama-ulama dulu kala mengajarkan Islam, agar masyarakat disini kenal dan paham ajaran nabi. Ini karena nabi milik orang banyak (tidak hanya bangsa Arab saja). Wamaa arsalnaaka illa rahmatal lil ‘aalamiin ; Aku (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.

Maka, shalawat itu dikenalkan dengan cara berbeda-beda. Ada yang sukanya shalawat ala Habib Syekh, Habib Luthfi, dll. Jadi jangan heran kalau shalawat itu bermacam-macam.Ini beda dengan wayang yang hanya dimiliki orang Jawa.

Orang kalau tidak tahu Islam Indonesia, pasti bingung. Maka Gus Dur melantunkan shalawat memakai lagu dangdut. Astaghfirullah, rabbal baraaya, astaghfirullah, minal khataaya, ini lagunya Ida Laila: Tuhan pengasih lagi penyayang, tak pilih kasih, tak pandang sayang. Yang mengarang namanya Ahmadi dan Abdul Kadir.

Nama grupnya Awara. Ida Laila ini termasuk Qari’ terbaik dari Gresik. Maka lagunya bagus-bagus dan religius, beda dengan lagu sekarang yang mendengarnya malah bikin kepala pusing. Sistem pembelajaran yang seperti ini, yang dilakukan oleh para wali. Akhirnya orang Jawa mulai paham Islam.

Namun selanjutnya Sultan Trenggono tidak sabaran: menerapkan Islam dengan hukum, tidak dengan budaya. "Urusanmu kan bukan urusan agama, tetapi urusan negara,” kata Sunan Kalijaga. “Untuk urusan agama, mengaji, biarlah saya yang mengajari,” imbuhnya.

Namun Sultan Trenggono terlanjur tidak sabar. Semua yang tidak sesuai dan tidak menerima Islam di uber-uber. Kemudian Sunan Kalijaga memanggil anak-anak kecil dan diajari nyanyian:

Gundul-gundul pacul, gembelengan.

Nyunggi-nyunggi wangkul, petentengan.

Wangkul ngglimpang segane dadi sak latar 2x

Gundul itu kepala. Kepala itu ra’sun. Ra’sun itu pemimpin. Pemimpin itu ketempatan empat hal: mata, hidung, lidah dan telinga. Empat hal itu tidak boleh lepas. Kalau sampai empat ini lepas, bubar.

Mata kok lepas, sudah tidak bisa melihat rakyat. Hidung lepas sudah tidak bisa mencium rakyat. Telinga lepas sudah tidak mendengar rakyat. Lidah lepas sudah tidak bisa menasehati rakyat. Kalau kepala sudah tidak memiliki keempat hal ini, jadinya gembelengan.

Kalau kepala memangku amanah rakyat kok terus gembelengan, menjadikan wangkul ngglimpang, amanahnya kocar-kacir. Apapun jabatannya, jika nanti menyeleweng, tidak usah di demo, nyanyikan saja Gundul-gundul pacul. Inilah cara orang dulu, landai.

Akhirnya semua orang ingin tahu bagaimana cara orang Jawa dalam ber-Islam. Datuk Ribandang, orang Sulawesi, belajar ke Jawa, kepada Sunan Ampel. Pulang ke Sulawesi menyebarkan Islam di Gunung Bawakaraeng, menjadilah cikal bakal Islam di Sulawesi.

Berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di penjuru Sulawesi.

Khatib Dayan belajar Islam kepada Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Ketika kembali ke Kalimantan, mendirikan kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan.

Ario Damar atau Ario Abdillah ke semenanjung Sumatera bagian selatan, menyebarkan dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Sumatera.

Kemudian Londo (Belanda) datang. Mereka semua, seluruh kerajaan yang dulu dari Jawa, bersatu melawan Belanda.

Ketika Belanda pergi, bersepakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka kawasan di Indonesia disebut wilayah, artinya tinggalan para wali. Jadi, jika anda meneruskan agamanya, jangan lupa kita ditinggali wilayah.

Inilah Nahdlatul Ulama, baik agama maupun wilayah, adalah satu kesatuan: NKRI Harga Mati.

Maka di mana di dunia ini, yang menyebut daerahnya dengan nama wilayah? Di dunia tidak ada yang bisa mengambil istilah: kullukum raa’in wa kullukum mas uulun ‘an ra’iyatih ; bahwa Rasulullah mengajarkan hidup di dunia dalam kekuasaan ada sesuatu yaitu pertanggung-jawaban.

Dan yang bertanggungjawab dan dipertanggung jawabkan disebut ra’iyyah. Hanya Indonesia yang menyebut penduduknya dengan sebutan ra’iyyah atau rakyat.

Begini kok banyak yang bilang tidak Islam.

Nah, sistem perjuangan seperti ini diteruskan oleh para ulama Indonesia. Orang-orang yang meneruskan sistem para wali ini, dzaahiran wa baatinan, akhirnya mendirikan sebuah organisasi yang dikenal dengan nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

Kenapa kok bernama Nahdlatul Ulama. Dan kenapa yang menyelamatkan Indonesia kok Nahdlatul Ulama? Karena diberi nama Nahdlatul Ulama. Nama inilah yang menyelamatkan. Sebab dengan nama Nahdlatul Ulama, orang tahu kedudukannya: bahwa kita hari ini, kedudukannya hanya muridnya ulama.

Meski, nama ini tidak gagah.

*KH Ahmad Dahlan* menamai organisasinya *Muhammadiyyah*: pengikut Nabi Muhammad, gagah. Ada lagi organisasi, namanya Syarekat Islam, gagah. Yang baru ada Majelis Tafsir Alquran, gagah namanya. Lha ini “hanya” Nahdlatul Ulama. Padahal walau notabene sebagai ulama, kalau di desa - desa, juga ada yang ngutang rokok.

Tapi Nahdlatul Ulama ini yang menyelamatkan, sebab kedudukan kita hari ini hanya muridnya ulama.

*Yang membawa Islam itu Kanjeng Nabi*.
Muridnya Nabi namanya Sahabat.
Muridnya sahabat namanya Tabi’in.

Tabi’in bukan ashhabus-shahabat, tetapi tabi’in, maknanya *pengikut*.

Muridnya Tabi’in namanya tabi’it-tabi’in, pengikutnya pengikut.

Muridnya tabi’it-tabi’in namanya tabi’it-tabi’it-tabi’in , pengikutnya pengikutnya pengikut.

Lha kalau kita semua ini namanya apa?

Kita muridnya *KH Hasyim Asy’ari*.

Lha KH Hasyim Asy’ari hanya muridnya *Kiai Asyari*. Kiai Asyari mengikuti gurunya, namanya *Kiai Usman*. Kiai Usman mengikuti gurunya namanya *Kiai Khoiron*, Purwodadi (Mbah Gareng).

Kiai Khoiron muridnya *Kiai Abdul Halim*, Boyolali.

Mbah Abdul Halim muridnya *Kiai Abdul Wahid*.

Mbah Abdul Wahid itu muridnya *Mbah Sufyan*.

Mbah Sufyan muridnya *Mbah Jabbar*, Tuban.

Mbah Jabbar muridnya *Mbah Abdur Rahman*, muridnya *Pangeran Sambuh*, muridnya *Pangeran Benowo*, muridnya *Mbah Tjokrojoyo*, Sunan Geseng.

Sunan Geseng hanya muridnya *Sunan Kalijaga*, muridnya *Sunan Bonang*, muridnya *Sunan Ampel*, muridnya *Mbah Ibrahim Asmoroqondi*, muridnya *Syekh Jumadil Kubro*, muridnya *Sayyid Ahmad*, murid *Sayyid Ahmad Jalaludin*, murid *Sayyid Abdul Malik*, murid *Sayyid Alawi Ammil Faqih*, murid *Syekh Ahmad Shohib Mirbath*.

Kemudian muridnya *Sayyid Ali Kholiq Qosam*, murid *Sayyid Alwi*, murid *Sayyid Muhammad*, murid *Sayyid Alwi*, murid *Sayyid Ahmad Al-Muhajir*, murid *Sayyid Isa An-Naquib*, murid *Sayyid Ubaidillah*, murid *Sayyid Muhammad*, murid *Sayyid Ali Uraidi*, murid *Sayyid Ja’far Shodiq*, murid *Sayyid Musa Kadzim*, murid *Sayyid Muhammad Baqir*.

Sayyid Muhammad Baqir hanya muridnya *Sayyid Zaenal Abidin*, muridnya *Sayyidina Hasan – Husain*, muridnya *Sayiidina Ali* karramallahu wajhah.

Nah, yang terakhir ini baru muridnya *Rasulullah SAW*.


Kalau begini nama kita apa? Namanya ya tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit…, yang panjaaaang sekali.

Maka cara mengajarkannya juga tidak sama. Inilah yang harus difahami.

Rasulullah itu muridnya bernama sahabat, tidak diajari menulis Alquran. Maka tidak ada mushaf

Alquran di jaman Rasulullah dan para sahabat. Tetapi ketika sahabat ditinggal wafat Rasulullah, mereka menulis Alquran.

Untuk siapa? Untuk para tabi’in yang tidak bertemu Alquran. Maka ditulislah Alquran di jaman Sayyidina Umar dan Sayyidina Utsman. Tetapi begitu para sahabat wafat, tabi’in harus mengajari dibawahnya.

Mushaf Alquran yang ditulis sahabat terlalu tinggi, hurufnya rumit tidak bisa dibaca. Maka pada tahun 65 hijriyyah diberi tanda “titik” oleh Imam Abu al-Aswad ad-Duali, agar supaya bisa dibaca.

Tabiin wafat, tabi’it tabi’in mengajarkan yang dibawahnya. Titik tidak cukup, kemudian diberi “harakat” oleh Syekh Kholil bin Ahmad al-Farahidi, guru dari Imam Sibawaih, pada tahun 150 Hijriyyah.

Kemudian Islam semakin menyebar ke penjuru negeri, sehingga Alquran semakin dibaca oleh banyak orang dari berbagai suku dan ras.

Orang Andalusia diajari “ Waddluha” keluarnya “ Waddluhe”.

Orang Turki diajari “ Mustaqiim” keluarnya “ Mustaqiin”.

Orang Padang, Sumatera Barat, diajari “ Lakanuud ” keluarnya “ Lekenuuik ”.

Orang Sunda diajari “ Alladziina ” keluarnya “ Alat Zina ”.

Di Jawa diajari “ Alhamdu” jadinya “ Alkamdu ”, karena punyanya ha na ca ra ka . Diajari “ Ya Hayyu Ya Qayyum ” keluarnya “ Yo Kayuku Yo Kayumu ”. Diajari “ Rabbil ‘Aalamin ” keluarnya “ Robbil Ngaalamin” karena punyanya ma ga ba tha nga.

Orang Jawa tidak punya huruf “ Dlot ” punyanya “ La ”, maka “ Ramadlan ” jadi “ Ramelan ”. Orang Bali disuruh membunyikan “ Shiraathal…” bunyinya “ Sirotholladzinaan’amtha ‘alaihim ghairil magedu bi’alaihim waladtholliin ”.

Di Sulawesi, “’ Alaihim” keluarnya “’ Alaihing ”.

Karena perbedaan logat lidah ini, maka pada tahun 250 hijriyyah, seorang ulama berinisiatif menyusun Ilmu Tajwid fi Qiraatil Quran , namanya Abu Ubaid bin Qasim bin Salam. Ini yang kadang orang tidak paham pangkat dan tingkatan kita. Makanya tidak usah pada ribut.

Murid ulama itu beda dengan murid Rasulullah. Murid Rasulullah, ketika dzikir dan diam, hatinya “online” langsung kepada Allah SWT. Kalau kita semua dzikir dan diam, malah jadinya tidur.

Maka disini, di Nusantara ini, jangan heran.

Ibadah Haji, kalau orang Arab langsung lari ke Ka’bah. Muridnya ulama dibangunkan Ka’bah palsu di alun-alun, dari triplek atau kardus, namanya manasik haji. Nanti ketika hendak berangkat haji diantar orang se-kampung.

Yang mau haji diantar ke asrama haji, yang mengantar pulangnya belok ke kebun binatang. Ini cara pembelajaran. Ini sudah murid ulama. Inilah yang orang belajar sekarang: kenapa Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama selamat, sebab mengajari manusia sesuai dengan hukum pelajarannya ulama.

Anda sekalian disuruh dzikir di rumah, takkan mau dzikir, karena muridnya ulama. Lha wong dikumpulkan saja lama kelamaan tidur. Ini makanya murid ulama dikumpulkan, di ajak berdzikir.

Begitu tidur, matanya tidak dzikir, mulutnya tidak dzikir, tetapi, pantat yang duduk di majelis dzikir, tetap dzikir. Nantinya, di akhirat ketika “wa tasyhadu arjuluhum ,” ada saksinya. Orang disini, ketika disuruh membaca Alquran, tidak semua dapat membaca Alquran. Maka diadakan semaan Alquran.

Mulut tidak bisa membaca, mata tidak bisa membaca, tetapi telinga bisa mendengarkan lantunan Alquran. Begitu dihisab mulutnya kosong, matanya kosong, di telinga ada Alqurannya.

Maka, jika bukan orang Indonesia, takkan mengerti Islam Indonesia. Mereka tidak paham, oleh karena, seakan-akan, para ulama dulu tidak serius dalam menanam. Sahadatain jadi sekaten. Kalimah sahadat jadi kalimosodo. Ya Hayyu Ya Qayyum jadi Yo Kayuku Yo Kayumu.

Ini terkesan ulama dahulu tidak ‘alim. Ibarat pedagang, seperti pengecer. Tetapi, lima ratus tahun kemudian tumbuh subur menjadi Islam Indonesia. Jamaah haji terbanyak dari Indonesia. Orang shalat terbanyak dari Indonesia. Orang membaca Alquran terbanyak dari Indonesia.

Dan Islam yang datang belakangan ini gayanya seperti grosir: islam kaffah, begitu diikuti, mencuri sapi.

Dilihat dari sini, saya meminta, Tentara Nasional Indonesia, Polisi Republik Indonesia, jangan sekali-kali mencurigai Nahdlatul Ulama menanamkan benih teroris.

*Teroris tidak mungkin tumbuh dari Nahdlatul Ulama, karena Nahdlatul Ulama lahir dari Bangsa Indonesia.* Tidak ada ceritanya Banser kok ngebom disini, sungkan dengan makam gurunya. Mau ngebom di Tuban, tidak enak dengan Mbah Sunan Bonang.

Saya yang menjamin. Ini pernah saya katakan kepada Panglima TNI. Maka, *anda lihat teroris di seluruh Indonesia, tidak ada satupun anak warga jamiyyah Nahdlatul Ulama*. Maka, Nahdlatul Ulama hari ini menjadi organisasi terbesar di dunia.

Dari Muktamar Makassar jamaahnya sekitar 80 juta, sekarang di kisaran 120 juta. Yang lain dari 20 juta turun menjadi 15 juta. Kita santai saja. Lama-lama mereka tidak kuat, seluruh tubuh kok ditutup kecuali matanya. Ya kalau pas jualan tahu atau tempe..., lha kalau pas nderep (nanam padi) di sawah bagaimana..?. Jadi kita santai saja. Kita tidak pernah melupakan *sanad*, urut-urutan, karena itu cara Nahdlatul Ulama agar tidak keliru dalam mengikuti ajaran junjungan kita, Nabi Besar Rasulullah Muhammad SAW.

Allohu A'lam bissowab...

Sumber : Pengajian KH Muwafiq
Disqus Comments